Selasa, 20 Desember 2011

Hijrah kerana Allah Dan RasulNya


Hijrah kerana Allah Dan RasulNya

Beliau adalah Al-Imam Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau adalah seorang yang tinggi di dalam keutamaan, kebaikan, kemuliaan, akhlak dan budi pekertinya. Beliau juga seorang yang sangat dermawan dan pemurah.Beliau berasal dari negara Iraq, tepatnya di kota Basrah. Ketika beliau mencapai kesempurnaan di dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah, bersinarlah mata batinnya dan memancarlah cahaya kewaliannya, sehingga tersingkaplah padanya hakekat kehidupan dunia dan akherat, mana hal-hal yang bersifat baik dan buruk.Beliau di Irak adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan kehidupan yang makmur. Akan tetapi ketika beliau mulai melihat tanda-tanda menyebarnya racun hawa nafsu disana, beliau lebih mementingkan keselamatan agamanya dan kelezatan untuk tetap beribadah menghadap Allah SWT. Beliau mulai menjauhi itu semua dan membulatkan tekadnya untuk berhijrah, dengan niat mengikuti perintah Allah,siap bos.Bersegeralah kalian lari kepada Allah Adapun sebab-sebab kenapa beliau memutuskan untuk berhijrah dan menyelamatkan agamanya dan keluarganya, dikarenakan tersebarnya para ahlul bidah dan munculnya gangguan kepada para Alawiyyin, serta begitu sengitnya intimidasi yang datang kepada mereka. Pada saat itu muncul sekumpulan manusia-manusia bengis yang suka membunuh dan menganiaya. Mereka menguasai kota Basrah dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka membunuh dengan sadis para kaum muslimin. Mereka juga mencela kaum perempuan muslimin dan menghargainya dengan harga 2 dirham. Mereka pernah membunuh sekitar 300.000 jiwa dalam waktu satu hari. Ash-Shuly menceritakan tentang hal ini bahwa jumlah total kaum muslimin yang terbunuh pada saat itu adalah sebanyak 1.500.000jiwa.
Pemimpin besar mereka adalah seorang yang pandir dengan mengaku bahwa dirinya adalah Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Isa bin Zainal Abidin, padahal nasab itu tidak ada. Ia suka mencaci Ustman, Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah. Ini termasuk salah satu golongan dalam Khawarij.Karena sebab-sebab itu, Al-Imam Ahmad memutuskan untuk berhijrah. Kemudian pada tahun 317 H, berhijrahlah beliau bersama keluarga dan kerabatnya dari Basrah menuju ke Madinah. Termasuk di dalam rombongan tersebut adalah putra beliau yang bernama Ubaidillah dan anak-anaknya, yaitu Alwi (kakek keluarga Baalawy), Bashri (kakek keluarga Bashri), dan Jadid (kakek keluarga Jadid). Mereka semua adalah orang-orang sunni, ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang sufi dan sholeh. Termasuk juga yang ikut dalam rombongan beliau adalah para budak dan pembantu beliau, serta termasuk didalamnya adalah kakek dari keluarga Al-Ahdal. Dan juga ikut diantaranya adalah kakek keluarga Bani Qadim (Bani Ahdal dan Qadim adalah termasuk keturunan dari paman-paman beliau).Pada tahun ke-2 hijrahnya beliau, beliau menunaikan ibadah haji beserta orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Kemudian setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju ke Hadramaut. Masuklah beliau ke daerah Hajrain dan menetap disana untuk beberapa lama. Setelah itu beliau melanjutkan ke desa Jusyair. Tak lama disana, beliau lalu melanjutkan kembali perjalanannya dan akhirnya sampailah di daerah Husaisah (nama desa yang berlembah dekat Tarim). Akhirnya beliau memutuskan untuk menetap disana.Semenjak beliau menetap disana, mulai terkenallah daerah tersebut. Disana beliau mulai menyebarkan-luaskan As-Sunnah. Banyak orang disana yang insyaf dan kembali kepada As-Sunnah berkat beliau. Beliau berhasil menyelamatkan keturunannya dari fitnah jaman.
Masuknya beliau ke Hadramaut dan menetap disana banyak mendatangkan jasa besar. Sehingga berkata seorang ulama besar, Al-Imam Fadhl bin Abdullah bin Fadhl, Keluar dari mulutku ungkapan segala puji kepada Allah. Barangsiapa yang tidak menaruh rasa husnudz dzon kepada keluarga Baalawy, maka tidak ada kebaikan padanya. Hadramaut menjadi mulia berkat keberadaan beliau dan keturunannya disana. Sulthanah binti Ali Az-Zabiidy (semoga Allah merahmatinya) telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dimana di mimpi tersebut Rasulullah SAW masuk ke dalam kediaman salah seorang Saadah Baalawy, sambil berkata, Ini rumah orang-orang tercinta. Ini rumah orang-orang tercinta.Radhiyallohu anhu wa ardhah.[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]

Mengapa Imam al-Muhajir hijrah ke Yaman
Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Risalatul Muawanah mengatakan, Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin al-Imam Jafar Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bidah, pengobralan hawa nafsu dan perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari negerinya (Iraq) dari tempat yang satu ke tempat yang lain hingga sampai di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat. Mengapa Imam al-Muhajir memilih Hadramaut yang terletak di Negara Yaman sebagai tempat hijrah ? Imam al-Muhajir memilih Hadramaut sebagai tempat hijrahnya, dikarena beberapa faktor, pertama peristiwa hijrahnya al-Husein dari Madinah ke Kufah, dimana Ibnu Abbas memberikan nasehat kepada Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib ketika hendak berangkat ke Kufah. Ibnu Abbas menasehati agar beliau pergi ke Yaman karena di negeri itu para penduduknya menyatakan siap untuk mendukung Imam Husein. Sejarah membuktikan bahwa keturunan Imam Husein sampai saat ini mendapat dukungan di sana. Kedua, keistimewaan penduduk Yaman yang banyak disebut dalam alquran dan hadits. Allah swt berfirman :Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mumin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah maha luas (pemeberian-Nya) lagi maha mengetahui.Dari Jabir, Rasulullah saw ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib. Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah saw, beliau berkata, Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman. Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, Saya dan kaum saya wahai Rasulullah. Rasul menjawab, Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asyâari.Ketika Allah berfirman dalam surat al-Hajj ayat 27 yang berbunyi :Dan serukanlah kepada umat manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang ke (rumah Tuhan) mu dengan berjalan kaki dan dengan menunggang berbagai jenis unta yang kurus, yang datangnya dari berbagai jalan yang jauh.
Ayat ini turun kepada nabi Ibrahim as, setelah menerima wahyu tersebut beliau pergi menuju Jabal Qubays dan menyeru untuk menunaikan haji. Dan orang pertama yang menjawab dan datang  atas seruan Nabi Ibrahim as adalah orang-orang Yaman.Allah swt berfirman dalam surah al-Nashr ayat 2 :
Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan beramai-ramai.
Berkata Shadiq Hasan Khan dalam tafsirnya dari Ikrimah dan Muqatil, Sesungguhnya yang dimaksud dengan manusia pada ayat itu adalah orang-orang Yaman, mereka berdatangan kepada Rasulullah untuk menjadi kaum muminin dengan jumlah tujuh ratus orang.
Dari Ibnu Abbas berkata : Nabi kita ketika berada di Madinah berkata, Allahu Akbar, Allahu Akbar, telah datang      bantuan Allah swt dan kemenangannya dan telah datang ahlu Yaman. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw : Siapakah ahlu Yaman itu ? Rasulullah saw menjawab : Suatu kaum yang suci hatinya dan lembut perangainya. Iman pada ahlu Yaman, kepahaman pada ahlu Yaman dan hikmah pada ahli Yaman.Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin Matham dari Rasulullah saw berkata, Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi.Dalam Jami al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, Sesungguhnya aku menemukan nafas al-Rahman dari sini. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman.  Masih dalam Jamial-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah saw, Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman.
Faktor lain yang menjadi pertimbangan Imam al-Muhajir hijrah ke Yaman dikarenakan masyarakat Yaman mempunyai hati yang suci dan tabiat yang lembut serta bumi yang penuh dengan keberkahan, sehingga Rasulullah saw memerintahkan hijrah ke negeri Yaman jika telah terjadi fitnah. Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi saw bersabda, Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan.
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi saw bersabda, Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah.
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw, Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak.
Abu Musa al-Asyari meriwayatkan dari Rasulullah saw, Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah. Bersabda Nabi saw : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman.
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda, Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencitaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku.

Dakwah Alawiyin di Nusantara
Sumber-sumber sejarah sebagian orang barat menyatakan bahwa islam masuk keindonesia pada abad XIII M dan bahwa yang pertama kali menyiarkan ialah orang-orang persia dan india. Akan tetapi menurut para ahli sejarah dari kaum muslim sendiri, keterangan tersebut tidak dapat dibenarkan dan bahkan kuat kemungkinan bahwa hal itu memang disengaja dipalsukan untuk tujuan-tujuan politik penjajahan mereka.
Seminar  Masuknya Islam Ke Indonesia yang diselenggarakan pada 17-20 Maret 1963 di Medan menyimpulkkan antara lain bahwa Islam telah masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad pertama Hijriah langsung dari negri Arab dan bahwa derah pertama yang di datangi ialah pesisir Sumatra, tempat terbentuknya masyarakat Islam serta kerjaan Islam pertama.
Selain itu, dapat di simpulkan bahwa diantara mubaligh-mubaligh Islam yang datang pertama kali terdapat golongan Alawiyin keturunan Sayidina Hasan dan Sayidina Husein bin Ali, baik yang berasal dari makkah Madinah maupun yang kemudian menetap di Yaman dan sekitarnya. Ada kemungkinan bahwa sebelum sampai keindonesia mereka singgah beberapa waktu di Gujarat, pantai barat India sebelum meneruskan perjalan ke Timur (Indonesia, Malaysia Dan Pilfina). Mereka berlayar ke Timur untuk berdagang, dan juga menyelamatkan diri dari pemerintahan Bani Umayah atau tidak mau melibatkan diri dalam perang saudara yang terus-menerus berkecamauk, mereka ini secara aktif melakukan dakwah ke India, Indonesia dan juga ke Tiongkok, dengan sendirinya pun ke daerah-daerah yang terletak pada garis Arab-Tiongkok seperti Melaka (Malaysia) dan Filipina.Islam telah dikenal di sumatera Utara sebelum abad III H dan di bawa oleh para pedagang Arab dan Persi. Kerajaan Islam Perlak didrikan pada 1 Muharrom 225 H (840 M), dengan Sayid Maulana Abdul Aziz Shah sebagai sultannya yang pertama, baergelar Sultan Alaudin Sayid Maulana Abdul Aziz Shah. Ayahnya ialah Sayid Ali bin Muhammad bin Jafar Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Sayidina Husin bin Sayidina Ali bin Abi Tholib dan Fatimah Bin Rosululloh SAW, dinikahkan oleh Muerah (Raja) Perlak Syahrir Nuwi dengan adik kandungnya bernama Putri Makdum Tansyuri.Dalam perkembangan selanjutnya, kaum Alawiyin dari keturunan Ahmad Al Muhajir bin Isa memegang peranan penting dalam penyebarluasan di daerah-daerah Asia Tenggara termasuk pulau Jawa yang sampaiabad XIV M masih di kuasai oleh kerajaan Majapahit yang beragama Hindu.Terdorong oleh keingin mencari kehidupan materi yang lebih baik di samping menyebarkan ajaran-ajaran Islam keseluruh penjuru dunia, banyak dari mereka pergi meninggalkan Hadrolmaut, ada yang ke Barat sampai ke Somalia, Jibuti, Eritrea, Madagaskar dan lainnya, dan adapula yang ke timur sampai ke India, Cina, Kampucea Sia, Pilipina, Malaysia, Brunei dan Indonesia.Disetiap negri yang di kunjungi, mereka langsung membaur dengan rakyat setempat dan menggunakan nama-nama dan gelar-gelar yang dipakai secara umum. Dengan kelurhuran ahlak dan kehidupan bersahaja serta ketaatan kepada Agama seperti yang di warisi dari para leluhur, mereka mereka berhasil memikat hati penduduk setempat sehingga dalam waktu yang relatif singkat, Islam telah menyebar dan meluas di berbagi daerah di AsiaTenggara termasuk kepulauan Indonesia. Di antara mereka yang sangat terkenal ialah keturunan Abdul Malik bin Alwy bin Muhammad (Shohib Mirbath) bin Ali (Kholi Qosam) bin Alwy bin Muhammad bin Alwy bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir. Sayid Abdul Malik tersebut pergi dari Hadrolmaut dan menetap di India dan Anak cucunya membaur dengan penduduk negri dan menggunakan nama-nama dan gelar-gelar India. Dalam buku nasab kaum Alawiyin, mereka di sebut sebagai keluarga Adzamat Khan. Diantara mereka pergi ke Asia Tenggara yang diantara anak cucunya kemudian di kenal di Indonasia sebagai Wali Songo.
Jamaluddin Husain al-Akbar adalah orang pertama dari keluarga Adzamat Khan yang datang dan menetap di Indonesia. Ia adalah putra Ahmad jalal Syah (lahir dan wafat di India) bin Abdullah khan bin Abdul-Malik (wafat di India) bin Alwi (wafat di Tarim Hadromaut) bin Muhammad (Shahib Marbath) dan seterusnya sampai Imam al-Muhajir. Jamaluddin datang ke Indonesia dengan membawa keluarga dan sanak kerabatnya, lalu meninggalkan salah seorang putranya bernama Ibrahim Zain al-Akbar di Aceh untuk mengajarkan tentang Islam, sedangkan ia sendiri mengunjungi kerajaan Majapahit di Jawa kemudian merantau lagi ke daerah Bugis (Makassar dan Ujung pandang) dan berhasil dalam penyiaran Islam dengan damai sampai ia wafat di daerah Wajo, Makassar. Ia meninggalkan tiga orang putra, yaitu Ibrahim Zainuddin al-Akbar (yang ditinggal oleh ayahnya di Aceh), Ali Nurul Alam dan Zainal Alam Barakat.
Ibrahim Zainuddin al-Akbar  (alias Ibrahim Asmoro) wafat di Tuban Jawa Timur dan meninggalkan tiga orang putra yakni: Ali Murtadha, Maulana Ishaq, (ayah dari Muhammad Ainul Yakin /Sunan Giri) dan Ahmad Rahmatulloh Sunan Ampel (ayah dari Ibrohim Sunan Bonang, Hasyim Sunan Drajat, Ahmad Husanuddin Sunan Lamingan, Zainal Abidin Sunan Demak, Jafar Shodiq Sunan Kudus).
Ali Nurul Alam putra dari Jamaluddin Husein Al Akbar, wafat di Anam (Siam) meninggalkan seorang putra yaitu Abdulloh Khan yang wafat di Kmphuchea. Dua orang putra Abdulloh beliau adalah Babulloh Sultan Ternate dan Syarif Hidayatulloh Sunan Gunung Jati (ayah dari Sultan Hasanuddin, Sultan Banten yang pertama).
Zainal Alam Barokat, putra ketiga dari Jamaluddin Husen Al Akbar, wafat di Kampuchea atau di Cermin, meninggalkan dua orang putra yaitu Ahmad Zainal Alam dan Maulana Malik Ibrohim (wafat di Gresik).Dari kalangan keluarga Alawiyin lainnya tercatat nama-nama para pahlawan kemerdekaan RI antara lain adalah : Pangeran Diponegoro nama beliau adalah Mas ontowiryo beliau lahir pada tanggal 17 Nopember 1785, ayah beliau adalah Hamengkubuwono III ( Sayid Husein bin Alwy Babud ). Tuanku Imam Bonjol nama beliau adalah Muhammad bin Shahab lahir pada tahun 1772 ayah beliau seorang ulama yang bernama Sayid Khatib Bajanuddin Bin Shahab dll.
Selanjutnya dapat disebutkan disini beberapa nama lainnya yang berjasa dibidang dakwah dan pendidikan, antara lain :
a.    Habib Abdulloh bin Mukhsin AlAthos, beliau ke Indonesia, pada tahun 1800 Masehi, waktu itu beliau diperintahkan oleh Al Habibul Imam Abdullah bin Abu Bakar Alayidrus, untuk menuju Kota Mekah. Dan sesampainya di Kota Mekah, beliau melaksanakan sholat dan pada malam harinya beliau mimpi bertemu dengan Rasullah SAW, entah apa yang dimimpikannya, yang jelas ke esok harinya beliau berangkat menuju Negeri Indonesia.Sesampainya di Indonesia, beliau dipertemukan dengan Al Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas yang ada dipakojan Jakarta dan beliau belajar ilmu agama darinya, lalu Habib Ahmad Bin Hamzah Al Athas memerintahkan agar beliau datang berziarah ke Habib Husen di luar Batang, dari sana sampailah perjalanan beliau ke Bogor,  Pada saat beliau datang ke Empang Bogor, disana disebutkan bahwa Empang yang pada saat itu belum ada penghuninya, namun dengan Ilmu beliau bisa menyala dan menjadi terang benderangMasjid Keramat Empang didirikan sekitar tahun 1828 M. pendirian Masjid ini dilakukan bersama para Habaib dan ulama-ulama besar di Indonesia. Di Sekitar Areal Masjid Keramat terdapat peninggalan rumah kediaman Habib Abdullah, Habib Abdullah Bin Al Athas, adalah seorang Waliyullah dengan kiprahnya menyebarkan Agama Islam dari satu negeri kenegeri lain, peninggalan beliau adalah Masjid Annur dan pengajian pada setiap kamis sore
b.    sayid Idrus bin Salim Al Jufry, pendiri sekolah-sekolah Al Khairot di Palu, Sulawesi, yang terus berkembang dan jumlahnya kini sudah mencapai, ratusan bahkan ribuan tersebar dikawasan Indonesia bagian Timur.

c.    Habib Ali bin Abdurrohman Al Habsyi, pendiri Islamic Center yang terletak di Kwitang jakarta pusat beliau menghabiskan umurnya di dalam berdakwah dan mengajar, beliau pernah mendirikan madrasah Unwanul Ulum, namun ketika jepang berkuasa di Indonesia Habib Ali ditangkap shingga Madrasah ini tidak terurus, pada tahun 1911 M beliau mendiriakan Masjid Arriyadh, sampai saat ini pengajian beliau masih ada dan dibanjiri oleh jamaah tua maupun muda.

d.    Sayid Muhammad bin Abdurrohman bin Shahab, seorang ulama besar dan sangat memperhatikan kaum lemah seperti anak yatim piatu, janda, fakir miskin. Salah seorang pendiri Jamiatu Khair. Hubungan beliau dengan H.O.S. Cokroaminoto dan K.H. Ahmad Dahlan sangat erat dan besar pengaruhnya dalm pembentukan Syarekat Islam serta Muhamadiyah. Beliau pernah menjabat ketua di dalam organisasi Arrabitah Alawiyah pada tahun 1928 hingga 1930 pada tahun itu pula beliau wafat di Surabaya.
e.    Habib Ali bin Husein Al Athos beliau tiba di Jakarta pada tahun 1920 M. disini beliau berusaha menyiarkan agama Islam, namun mendapatkan kesulitan untuk mendirikan majlis ta’lim, oleh penjajah Belanda, oleh karena itu beliau memberikan pelajaran hanya kepada teman dan kenalan saja, dari satu rumah kerumah lainnya, di samping mengajar dirumah sendiri, pada waktu jepang menjajah larangan mengajar agama semakin keras, oleh karena itu beliau sering berkata :
Penjajah adalah jahat, kafir, dan wajib di perangi.beliau selama 56 tahun selalu mengobarkan semangat anti penjajahan dengan membawakan Al qur’an dan Hadist, murid beliau banyak yang menjadi ulama besar salah satunya adalah Mu’alim Syafi’i Hazami.
f.    Habib Ali bin Ja’far Beliau adalah ahli nasab yang mengadakan cacah jiwa pertama tahun 1932 dari daerah ke daerah. Pekerjaan ini oleh AL-Habib Ali bin Ja’far bin Syech Assegaf diteruskan hingga tahun 1950.Di mana dari sensus tersebut beliau berhasil menghimpun hampir semua dzurriyyah Rasul SAW yang ada di Indonesia, termasuk yang berhijrah ke Semenanjung Malaysia dan Singapura. Selanjutnya dari hasil sensus ini oleh AL-Habib Ali bin Ja’far bin Syech Assegaf sebanyak 7 jilid yang dihimpun menjadi 3 buah buku kecil berukuran (16 x 22cm) lengkap dengan catatan kaki, tahun kelahiran, tahun meninggal, tempat kelahiran, tempat meninggal. Satu karya yang betul-betul menjadi tonggak sejarah yang mungkin agak sulit untuk dilakukan lagi di zaman modern sekarang ini. Dengan merujuk buku silsilah yang dibuat oleh AL Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husin AL¬Masyhur Syahabuddin sebanyak 7 jilid, AL-Habib Ali bin Ja’far bin Syech Assegaf secara teliti menggabungkan hasil karyanya 3 buku tersebut menjadi 15 jilid dengan ukuran (30×4Ocm). Di saat itu, tahun 1954 M Lembaga Pemeliharaan Silsilah & Statistik Alawiyin berdiri secara resmi. Pimpinan saat itu adalah AL-Habib Ali bin Ja’far bin Syech Assegaf dan AL-Habib Hasyim bin Muhammad AL-Habsyi serta dengan penasehat AL-Habib Alwi bin Thohir AL-Haddad (Mufti Johor) & AL-Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf (pengarang Khidma’atul Asyirah). Pada tahun 1956 AL-Habib Alwalid Ali bin Ja’far bin Syech Assegaf (dikarenakan kondisi kesehatannya terganggu) mengundurkan diri dan diganti oleh AL-Habib Hasyim bin Muhammad AL-Habsyi dibantu oleh AL-Habib M. Dhiyaa Shahab, AL-HabibAbdurrahman bin Sagaf Assegaf dan Al-Habib Ahmad bin Husin AL Athas. Selanjutnya buku 15 jilid ini dibuat duplicat menjadi 3 set masing-masing duplicat tersebut disimpan di Jawa Tengah (Solo) saat ini ada di Pekalongan satu set di Jawa Timur (Surabaya) dan satu set di Palembang untuk wilayah Sumatera.
g.    Habib Abdurrohman bin Ahmad Asseggaf  beliau menjadi penabur dan penyebar ilmu di berbagai madrasah sehinggalah akhirnya beliau mendirikan pusat pendidikan beliau sendiri yang dinamakan Madrasah Tsaqafah Islamiyyah di Bukit Duri, Jakarta. Dunia pendidikan memang tidak mungkin dipisahkan dari jiwa almarhum Habib Abdur Rahman, yang hampir seluruh umurnya dibaktikan untuk ilmu dan pendidikan sehingga dia disebut sebagai gurunya para ulama. Sungguh almarhum adalah seorang pembimbing yang siang dan malamnya menyaksikan keluhuran akhlak dan budi pekertinya, termasyhur dengan kelembutan perangainya, termasyhur dengan khusyunya, termasyhur dengan keramahannya oleh segenap kalangan masyarakat, orang-orang miskin, orang kaya, pedagang, petani, kiyai, ulama dan orang-orang awam yang masih belum mendapat hidayah pun menyaksikan kemuliaan akhlak dan keramahan beliau rahimahullah, termasyhur dengan keluasan ilmunya, guru besar bagi para Kiyai dan Fuqaha di Indonesia, siang dan malamnya ibadah, rumahnya adalah madrasahnya, makan dan minumnya selalu bersama tamunya, ayah dan ibu untuk ribuan murid-muridnya.
Demikianlah beberapa nama dari sekian banyaknya para keluarga Alawiyin yang berjasa di bumi Indonesia yang kita cintai ini.
Sayid, Syarif dan Habib sebutan Alawiyin
Sayyid (bahasa Arab) (jamak : Sadah) adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, yang merupakan anak dari anak perempuan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib. Sebab Nabi SAW bersabda : kedua anakku ini menjadi sayid (tuan) dari pemuda-pemuda di surga.
Syarif. Keturunan dari Hasan bin Ali yang pernah memerintah Makkah, Madinah, Iraq pada masa Kesultanan Turki Utsmaniyah dan sekarang di Yordania, yaitu Hasyimiyah atau Hashemites menggunakan gelar Syarif.
Dalam Dunia Arab istilah Syarif digunakan oleh keturunan Hasan bin Ali, sedangkan gelar Sayyid digunakan oleh keturunan Husain bin Ali. Sedangkan kata Habib (bahasa arab) (jamak : Habaib) yang berarti kecintaan, di riwayatkandari Imam Ahmad, Thabrany, dan Al Hakim bersal dari Ibnu Abbas RA yang mengatakan bahwa setelah turun ayat 33 surat Asy-Syuro yang berbunyi :  QUL LAA ASALUKUM ALAIHI AJRON ILLA MAWADDATI FILQURBA WAMAYYAQTRIF HASANATAN NAZIDLAHUU FIHAA HUSNAN INNALLOHA GHOFURUN SYAKUUR.Yang artinya.Katakanlah (hai Muhammad) kepada mereka: aku tidak meminta upah apapun juga atas seruanku (dakwah) kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan. Barang siapa berbuat kebajikan baginya kami tambahkan kebaikan pada kebajikan itu, sesungguhnya Alloh Maha pengampun lagi Maha pembalas syukur.
Kemudian para sahabat bertanya : Ya Rosulalloh siapakah kerabat anda yang wajib kita berkasih sayang kepada mereka ? Rosululloh, menjawab : Ali Fathimah dan kedua anak meraka.
Gelar kehormatan ini di berikan kepada keturunan Nabi SAW. Dan di gunakan sekitar abad 14 H.
Tariqat Alawiyah
Habib Alqutbh Abdullah bin Alwi Al-Haddad, berkata:
Hendaknyalah anda membentengi aqidahmu (imanmu), memperbaiki dan meluruskannya sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh golongan yang selamat di Akhirat (Al-Firqah An-Najiah). Golongan ini terkenal di kalangan kaum muslimin dengan sebutan golongan Ahlus Sunah Wal-Jamaah
. Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan cara-cara yang dilakukan oleh Rasul Allah dan Sahabat-sahabatnya. Apabila anda perhatikan dengan fikiran yang sehat dan hati yang bersih nash-nash (teks-teks) Al-Qur’an dan Sunnah yang berhubungan dengan keimanan, kemudian anda pelajari perilaku para Salaf baik Sahabat maupun Tabi’in maka anda akan tahu dan yakin bahwa kebenaran akan berada di fihak mereka yang terkenal dengan sebutan Al-Asy’ariyah, yaitu pengikut Abul Hasan Al-Asy’ari, yang telah menyusun kaidah-kaidah (keyakinan) golongan yang berada di pihak yang benar serta telah meneliti dalil-dalilnya. Itu pulalah aqidah yang telah disepakati oleh para Sahabat Nabi serta generasi-generasi berikutnya dari para Tabi’in yang saleh dan itu pulalah aqidah orang-orang yang mengikuti kebenaran di mana saja dan kapan saja. Aqidah dan keyakinan itu juga dianut oleh semua ulama Tasawuf, seperti diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Qusyairi dalam risalahnya
Tariqat Alawiyyah berbeda dengan tariqat sufi lain pada umumnya. Perbezaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan.Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga dapat dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah [yang menekankan riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah] dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-abdan (olah fisik).Tarekat Alawiyyah merupakan salah satu tarekat mu’tabarah dari 41 tarekat yang ada di dunia. Tarekat ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tarekat ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir , seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah dikenal juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid Abdullah al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama Alawiyyah berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid keturunan Nabi Muhammad SAW yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu dibaiat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak (tasawuf amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat lain, biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat.
Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa Syekh Abdullah al-Haddad  Tarekat Alawiyyah yang diperbaharui  tarekat ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di Indonesia. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengikutnya terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman. Tarekat Alawiyyah memiliki dua cabang besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak, yakni Tarekat Aidarusiyyah dan Tarekat Aththahisiyyah.
Perkembangan Tariqah Alawiyah
Tonggak perkembangan Tariqat Alawiyyah dimulai pada masa Muhammad bin Ali, atau yang akrab dikenal dengan panggilan Al-Faqih al-Muqaddam (seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Pada masanya, kota Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan mengalami puncak kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang memiliki kelebihan pengetahuan bidang agama secara mumpuni, di antaranya soal fiqih dan tasawuf. Di samping itu, konon ia pun memiliki pengalaman spiritual tinggi hingga ke Maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum sufi) maupun khirqah shufiyyah (legalitas kesufian).Mengenai keadaan spiritual Muhammad bin Ali ini, al-Khatib pernah menggambarkan sebagai berikut: (Pada suatu hari, Al-Faqih al-Muqaddam tenggelam dalam lautan Asma, Sifat dan Dzat Yang Suci). Pada hikayat ke-24, para syekh meriwayatkan bahwa syekh syuyukh kita, Al-Faqih al-Muqaddam, pada akhirnya hidupnya tidak makan dan tidak minum. Semua yang ada di hadapannya sirna dan yang ada hanya Allah. Dalam keadaan fana seperti ini datang Nabi Khidir dan lainnya mengatakan kepadanya: Segala sesuatu yang mempunyai nafs (ruh) akan merasakan mati . Dia mengatakan,Aku tidak mempunyai nafs. Dikatakan lagi,Semua yang berada di atasnya (dunia) akan musnah.Dia menjawab,Aku tidak berada di atasnya.Dia mengatakan lagi,Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya (Dia).Dia menjawab,Aku bagian dari cahaya wajah-Nya.Setelah keadaan fananya berlangsung lama, lalu para putranya memintanya untuk makan walaupun sesuap. Menjelang akhir hayatnya mereka memaksakan untuk memasukkan makanan ke dalam perutnya. Dan setelah makanan tersebut masuk mereka mendengar suara (hati). Kalian telah bosan kepadanya, sedang kami menerimanya. Seandainya kalian biarkan dia tidak makan, maka dia akan tetap bersama kalian.Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan Tarekat Alawiyyah lalu dikembangkan oleh para syekh. Di antaranya ada empat syekh yang cukup terkenal, yaitu Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf (739), Syekh Umar al-Muhdhar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah al-Aidarus bin Abu Bakar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (880 H), dan Syekh Abu Bakar al-Sakran (821 H).Selama masa para syekh ini, dalam sejarah Ba Alawi, di kemudian hari ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan tarekat itu sendiri. Dan secara umum, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri melalui para tokoh maupun berbagai ajarannya dari masa para imam hingga masa syekh di Hadhramaut.
Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap mempertahankan beberapa ajaran para salaf mereka dari kalangan tokoh Alawi, seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai Al-Washiy, atau keterikatan daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk masalah wasiat dari Rasulullah untuk Imam Ali sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.
Kedua, adanya sikap elastis terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok ini untuk membaur dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.
Ketiga, berkembangnya tradisi para sufi kalangan khawwash (elite), seperti al-jamu, al-farq, al-fana bahkan al-wahdah, sebagaimana yang dialami oleh Muhammad bin Ali (Al-Faqih al-Muqaddam) dan Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf.
Keempat, dalam Tarekat Alawiyyah, berkembang suatu usaha pembaharuan dalam mengembalikan tradisi tarekat sebagai Thariqah (suatu madzhab kesufian yang dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga mampu menghilangkan formalitas yang kaku dalam tradisi tokoh para sufi.
Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti Hasan al-Bashri dengan zuhd-nya, Rabiah al-Adawiyah dengan mahabbah dan al-isyq al-Ilahi-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan fananya, al-Hallaj dengan wahdah al-wujud-nya, maka para tokoh Tarekat Alawiyyah, selain memiliki kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan al-faqru-nya. Al-khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya dan ujub, yang juga merupakan bagian dari zuhud. Adapun al-faqru adalah suatu sikap yang secara vertikal penempatan diriseseorang sebagai hamba di hadapan Khaliq (Allah) sebagai zat yang Ghani (Maha Kaya) dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu membutuhkan nikmat-Nya. Secara horizontal, sikap tersebut dipahami dalam pengertian komunal bahwa rahmat Tuhan akan diberikan bila seseorang mempunyai kepedulian terhadap kaum fakir miskin.Penghayatan ajaran tauhid seperti ini menjadukan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum kelas bawah maupun kaum tertindas (mustadlafin). Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf misalnya, selama itu dikenal dengan kaum fuqara-nya, sedangkan istri Muhammad bin Ali terkenal dengan dengan ummul fuqara-nya.
Imam al-Haddad
Nama lengkapnya Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad atau Syekh Abdullah al-Haddad. Dalam sejarah Tarekat Alawiyyah, nama Imam Haddad ini tidak bisa dipisahkan, karena dialah yang banyak memberikan pemikiran baru tentang pengembangan ajaran tarekat ini di masa-masa mendatang. Ia lahir di Tarim, Hadhramaut pada 5 Safar 1044 H. Ayahnya, Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad, dikenal sebagai seorang yang saleh. Al-Haddad sendiri lahir dan besar di kota Tarim dan lebih banyak diasuh oleh ibunya, Syarifah Salma, seorang ahli ma’rifah dan wilayah (kewalian).Peranan Imam Haddad dalam mempopulerkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh penjuru dunia memang tidak kecil, sehingga kelak tarekat ini dikenal juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu misalnya, ia di antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat Alawiyyah. Ia mengatakan, bahwa Tarekat Alawiyyah adalah Thariqah Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan menjaganya dengan hal-hal baik yang bersifat ukhrawi. Dalam hal suluk, al-Haddad membaginya ke dalam dua bagian.
Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat muhajadah, mengosongkan diri baik lahir maupun batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala perangai tak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua, kelompok ammah (umum), yakni mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan serangkaian perintah-perintah as-Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tarekat Alawiyyah adalah tarekat ammah, atau sebagai jembatan awal menuju tarekat khashshah.
Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan seorang syekh (musryid), perhatian seksama dengan ajarannya, dan membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini juga sangat ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah dipahami oleh masyarakat awam.
Imam Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah siyahah ruhaniyyah (perjalanan rekreatif yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan untuk melawan hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam safar ini, para musafir setidaknya membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi, kedua, sikap wara yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat moralitas yang baik yang menjaganya.
Kesimpulan
Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al Muqaddam dan pengikutnya adalah Atthariqah Al-Alawiyah yang dasarnya adalah mengikuti apa yang tersurat di dalam Alkitab (Alqur’an) dan Assunnah (ajaran Nabi), meneladani tokoh-tokoh Islam kurun pertama (para sahabat dan tabi’in). Itulah yang dinyatakan di dalam kitab-kitab mereka, ceramah dan nasihat agama, dan surat menyurat mereka antara yang satu dengan yang lain, serta dikuatkan pula oleh perilaku dan tindak tanduk Salaf Alalawiyin.Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib Abdullah Al Haddad dalam sebuah bait syair sebagai berikut :
Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab Allah,ikutilah Sunnah nabi Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga Allah memberi engkau petunjuk-Nya
Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi :
Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala campuran ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang cukup banyak
Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin pengikut tarekat tasawuf, tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk melakukan tugas-tugas kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan (sosial), keluarga maupun pribadi. Dalam segi tasawuf ini, Alawiyin menyerupai sahabat Nabi dan para tabiin yang terkenal dengan kesufiannya namun tidak terhalang untuk berjihad menyebarluaskan ilmu dan dakwah.
Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab tasawuf yang berintikan sikap zuhud. Namun zuhud tidak menghalangi mereka untuk mengumpulkan harta yang amat besar jumlahnya asal diÂperoleh melalui jalan yang wajar dan halal, yang kemudian disalurkan untuk kepentingan umum, menjamu tamu, mendirikan masjid dengan mencadangkan wakaf untuk pembiayaannya, menggali sumur untuk menyediakan air bersih yang sangat diperlukan, membuka dapur-dapur umur, dan mendirikan pondok pesantren untuk menyebarluaskan ilmu dan dakwah ke jalan Allah. Meng-usahakan perdamaian dan memperbaiki hubungan antara golongan-golongan yang bersengketa, bersedekah dan membantu mereka yang memerlukan bantuan.Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi penganut madzhab Syafi’i, namun mereka tidak bertaklid kepada Syafii dalam segala hal. Dalam soal-soal tertentu, mereka meninggalkan pendapat Syafi’i.Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asy’ari (dalam soal-soal Tauhid), namun mereka juga meninggalkan faham Al-Asy’ari dalam beberapa hal, seperti mengenai sahnya taklid dalam soal iman.Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat mengagumi karya-karya Al-Ghazali serta falsafahnya dalam bidang akhlak dan tasawuf, namun mereka tidak mengikutinya secara bertaklid buta, melainkan memperhatikan kekurangan dan kelemahan AlGhazaIi, sehingga ada diantara tokoh mereka yang mengatakan.Di dalam kitab Ihya,ada beberapa pernyataan seandainya dapat dihapus dengan air mata kami, kami akan melakukannya.Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian mereka menyukai nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan yang melangar akhlak, apalagi minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut tarekat lainnya.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun mereka tidak berkhalwat atau melakukan latihan-latihan rohani secara berlebihan dan melampaui batas. Kalaupun ada, sangatlah jarang, dan mereka melakukannya dengan cara yang tidak merusak, baik fisik maupun mental, serta bertujuan semata mata mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan dan kekotoran rohani, sebagai usaha untuk menyucikan diri dari kungkungan nafsu angkara murka dan syahwat.Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun tasawuf mereka tidak melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka menduduki jabatan-jabatan penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti), guru-guru besar, atau usahawan dalam bidang pertanian, perdagangan atau pertukangan, baik sebagai pimpinan maupun pelaksana lapangan.Alfagih Al-Muqaddam - misalnya - bapak Alawiyin dalam tasawuf, mungkin kita tidak pernah mengira bahwa Alfagih bertindak mengurusi perkebunan dan sawah ladangnya sendiri, mengatur rumah tangga dan keluarga, bahkan kadang-kadang berbelanja sendiri ke pasar. Kita mungkin tidak pernah rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih ini terdiri dari ribuan batang pohon kurma dan buah kurma hasil perkebunan itu - seperti di riwayatkan di dalam Silsilah Al Aidarusiyah - adalah sekitar 360 guci (zier). setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati).Penulis kitab Almasyra Arrawiy bercerita tentang kekayaan Alhabib Abdullah bin Alawi. Putera Al-faqih Al-Muqaddam (wafat 731 H.) Abdullah bin Alawi ini telah mewakafkan untuk masjid Bani Alawi di Tarim seharga 90.000 dinar. Ia mempunyai daftar tetap yang didalamnya tercatat nama orang-orang yang memerlukan bantuan, selain hadiah-hadiah yang diberikan kepada para penyair. Kendati demikian, ditinjau dari segi tasawuf dan ibadahnya, hampir tidak ada orang yang dapat menandinginya. Sedang dari ilmu, telah dicatat bahwa dia pernah berguru kepada seribu orang Syekh (guru) terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz, Irak dan Maghrib(Afrika Utara).Demikian pula dengan Habib Assagaf, betapapun banyak kegiatan dan kesibukannya dalam rnengerjakan wirid, zikir dan rnengajar, namun memiliki perkebunan dan sawah ladang yang luas sekali serta meminta laporan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada waktu antara maghrib dan isya, seperti diriwayatkan oleh Alkhathib, penulis kitab Aljauhar. Pohon¬pohon kurmanya amatlah banyak,tidak sedikit di antara pohon-pohon itu yang ditanam dengan tangannya sendiri, sambil membaca surat YaSin pada setiap pohon yang ditanamnya.Habib Al Muhdhar putra Assaqaf, adalah seorang ulama besar yang diyakini sebagai seorang wali Allah, namun tergolong seorang yang cukup kaya, yang kekayaannya di antaranya adalah kapal-kapal, tanah-tanah pertanian, kebun kurma dan lain-lain, seperti diterangkan semua itu di dalam surat wasiatnya.Demikian pula dengan Imam Abubakar Al-Adani, putra Habib Al-Aidarus (yang makamnya cukup terkenal di kota Aden) tergolong seorang hartawan di zamannya.Setiap hari memotong 30 ekor kambing untuk menjamu para tamu dalam berbuka puasa seperti dicatat oleh penulis biografi¬nya. Al-Adani telah melunasi hutang ayahnya setelah wafat sebanyak 30 ribu dinar. Al-Adani wafat 914 H.Demikian pula halnya dengan keturunan Abdullah bin Syekh Al-Aidarus ( keponakan Al-Adani), yang banyak berhubungan dengan raja-raja India. Kita akan kagum mempelajari riwayat hidup mereka, sebab di samping hasil karya ilmiah yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang mereka lakukan serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan ibadah, tokoh-tokoh ini mampu me-miliki kekayaan yang demikian besar, menandingi para raja dan pangeran. Sedang sebagian besar kekayaan itu, dinafkahkan untuk perbaikan sosial dan kepentingan umum.Jadi,faham tasawuf yang dianut oleh golongan Alawiyin adalah ajaran tasawuf yang wajar dan sehat, tidak membawa pengikutnya menjurus kepada fanatisme dan jumud (kebekuan)atau menjurus kepada ekstrimisme dan ingkar. Ajaran tasawuf mereka merupakan sikap tengah yang memelihara keseimbangan dalam semua segi.Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa yang dihubungkan kepada tokoh-tokoh Alawiyin berupa latihan amat banyak secara umum tidak mampu dilakukan manusia biasa serta bertentangan dengan naluri yang wajar, baik itu berupa tidak tidur siang malam untuk beberapa tahun lamanya berhenti makan dan minum berpuluh-puluh hari secara terus menerus, maupun mengkhatamkan pembacaan Alqur’an beberapa kali di waktu siang dan beberapa kali di waktu malam. Hal - hal semacarn itu hanyalah merupakan tindakan-tindakan khusus yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu saja yang memang diberi kemauan dan kemampuan oleh Allah, di samping adanya kesediaan batin untuk melakukannya. Hal-hal semacarn ini memang tidak dapat dilakukan oleh selain mereka sebab sifatnya yang khusus dan merupakan pengecualian dan yang umum. Bahkan lingkungan mereka sendiri memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh, sehingga apabila ada yang menceritakannya, hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum terhadap sesuatu yang luar biasa.Akan tetapi hal-hal semacam itu boleh saja digolongkan sebagai karamah
yang telah diuraikan oleh ulama (tasawuf) secara jelas. Perlu pula dicatat di sini, bahwa pernyataan-pernyataan yang kadang-kadang diucapkan oleh beberapa tokoh Alawiyin tertentu - seperti dicatat oleh sebagian penulis sejarah terdahulu yang pada lahirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip syara, dan yang terkenal dengan sebutan syathahat adalah bukan karena mereka telah meyakini faham wahdatul wujud(panteisme), bukan pula untuk menyatakan kesombongan dan membanggakan diri, seperti dituduhkan oleh sementara orang. Sebab kebersihan pribadi dan kejujuran tokoh-tokoh itu cukup dikenal dalam sejarah. Pada hakikatnya, pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada saat mereka dalam keadaan ganjil dan luar biasa, di mana mereka berada dalam suasana tak sadar (keadaan fana), sehingga apa yang diucapkan itu dapatlah dimaafkan, dan tidak dapat dicatat sebagai pelanggaran yang mengakibatkan dosa, apalagi kufur, Betapa pun juga, tidaklah sepatutnya hal-hal seperti itu disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak rnenyukainya. Pada tahap perkembangan ini, lahirlah jabatan Munshib. Jabatan itu sendiri dikenal sebagai Manshabah. Sebagian besar Munshib Alawiyin muncul pada abad kesebelas dan abad keduabelas H. Seperti Munshib Al-Attas, Munshib Al  Aidarus, Munshib Al-Syekh Abubakar bin Salim, Munshib Alhabsyi, Munshib Al Haddad, Al-Jufri, Al-Alawi bin Ali, Al-Syathiri, Al-Abu Numay dan lain-lain.Tugas yang dilakukan oleh lembaga ini adalah tugas yang mulia dan bermanfaat, baik bagi agama maupun bagi sesama manusia. Pemangku jabatan ini - yang menerimanya secara turun temurun - selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa - khususnya sengketa antara suku-suku yang bersenjaia - menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk kepada mereka yang memerlu¬kan petunjuk dan bantuan bagi yang memerlukan bantuan.Lembaga ini senantiasa memainkan perannya hingga kini, sesuai dengan tujuan Manshabah yang didirikan untuknya. Para Munshib tidak jarang mengorbankan harta dan kepentingan pribadi demi tugas dan jabatannya. Hanya saja generasi yang kernudian biasanya makin lemah bila dibanding dengan pendahulunya, baik di bidang keahlian, kemampuan, maupun kewibawaan, sehingga secara berangsur, lembaga ini makin lama makin berkurang peranannya. Hal ini terutarna disebabkan kurangnya perhatian terhadap pendidikan, baik ilrnu maupun keahlian, sesuai dangan, apa yang dahulu dikuasai oleh bapak-bapak mereka.

  ARSIP SOAL ASESMEN BAHASA INGGRIS SMP KURIKULUM MERDEKA TAHUN 2022/2023 Dalam Kurikulum Merdeka , istilah penilaian lebih dikenal dengan i...